BIMBINGAN TEKNIS KURIKULUM 2013 YAYASAN WIDYATMIKA

65103146_10213963992986369_5292390222619738112_n

PTK ITU MUDAH, materi yang saya bawakan pada kegiatan tersebut. Peserta dari guru-guru TK, SD, SMP, SMA dan SMK dari lintas Prodi. Pertemuan yang sangat berkesan, bisa berbagi sekaligus belajar.
Turut hadir Ketua Yayasan, Ketua Komite dan Kepala Sekolah. Kegiatan berlangsung pada hari Jum’at, 21 Juni 2019.

FoMuBer, adalah formula untuk mewujudkan PTK dengan mudah.
FOkus pada masalah
MUlai bekerja setelah solusi ditemukan
BERkolaborasilah dengan sejawat dan/atau ahli.
.
Terima kasih atas kesempatannya.

Link Materi PTK di Widyatmika

Menjadi Penanya: Dimulai dari Guru

adi

Secara resmi pemerintah Indonesia melalui kurikulum 2013 menyaratkan siswa menjadi seorang penanya (metode sainstifik). Sebelum meminta siswa menjadi penanya yang baik dan berani, tentu guru (pendidik) juga harus berani dan terus belajar untuk menjadi seorang penanya. Salah satu keterampilan yang diasah melalui bertanya adalah kemampuan berpikir kritis. Kita akan dituntut detail dan sadar untuk memperhati atau mengamati sesuatu. Dengan begitu pertanyaan bisa terangkai.

Pengalaman bertanya di seminar internasional tentu menjadi tantangan tersendiri. Pertama, disamping spesifik dan konten yang ditanyakan jelas. Yang kedua adalah faktor bahasa. Bahasa inggris yang digunakan sebisa mungkin dapat dimengerti oleh pembicara dan moderator.

Walaupun struktur kalimatnya masih belum begitu rapi. Syukur pertanyaan yang saya ajukan dapat dimengerti. Saya hanya mau menunjukkan bahwa keingintahuan terhadap konten saja tidak cukup. Perlu adanya keberanian (tidak malu) untuk mendasarinya.

Pengalaman yang mengesankan karena setelah bertanya, mendapat hadiah buku dari penulisnya langsung.
Makassar, 9 Oktober 2017
The 2nd International Conference Statistic, Mathematics, Teaching and Research 2017

aa.jpgad.jpg

GAGAL TRY OUT MATEMATIKA “OMA DAN CUCU KHAWATIR DAN TAKUT”

anak-selalu-gagal-pelajaran-matematika-ini-solusinya-2Ik130xcwh

http://lifestyle.okezone.com/read/2016/08/12/196/1462024/anak-selalu-gagal-pelajaran-matematika-ini-solusinya

Malam hari tiba-tiba saya ditelpun Oma (nenek dari salah satu siswa yang dulu saya ajar). Oma bercerita mengenai kekhawatirannya yang lebih mengarah pada ketakutan. Oma bercerita tentang hasil TRY OUT cucunya untuk mata pelajaran matematika yang sangat jatuh di bawah 40, padahal sebelumnya cucunya lolos penyisihan Olimpiade matematika di Universitas Negeri Semarang.

“Bagaimana ini Mr. Kadek?” Tanya Oma.

Saya minta Oma untuk tenang terlebih dahulu, saya berikan informasi positif agar ketakutannya itu tidak tersalur ke cucunya. Saya sampaikan “Ohh begitu, tapi tidak apa-apa Oma, biasanya soal-soal TRY OUT dibuat lebih susah jadi wajar kalau nilainya kurang baik, masih bisa diperbaiki lagi”.

“Tapi.. Mr. Kadek… bla bla bla….”

“Okee… Oma tenang. Saya akan ke rumah Oma nanti, ketemu sama Dandi (bukan nama sebenarnya)”

Ketika tiba disana. Saya bisa melihat dan merasakan suasana kekalahan, keputus asaan dalam diri Dandi. Mungkin bukan hanya menjadi “bulan-bulannan” Omanya di rumah tetapi guru-guru di sekolahnya juga. Karena tentu sekolah juga sedikit tidak, memposisikan siswa yang bersalah karena nilai itu.

Wajah tertunduk, tampak raut penyesalan. Tidak ada senyum sama sekali. Menyapanya datar. Intinya tidak seperti ketika belajar di kelas olimpiade, lebih-lebih pada saat dia menjadi salah satu wakil Malang untuk berkompetisi di Semarang. Lanjutkan membaca “GAGAL TRY OUT MATEMATIKA “OMA DAN CUCU KHAWATIR DAN TAKUT””

MATEMATIKA dapat Mencegah PERANG

Malam ini (pukul 1.45 WIB) saya tidak bisa tidur. Sudah mencoba untuk tidur setelah diskusi panjang lebar tentang pengalaman kepemimpinan bersama teman seasrama, tapi tetap tidak bisa. Saya lupa, hari ini saya minum kopi dua gelas hehee… alhasil mata saya melek terus, sembari pikiran ini terus berpikir tentang menulis.

Salah satu yang terpikir adalah menulis tentang “Matematika dapat mencegah perang” bahasa yang cukup berat untuk malam yang juga berat hahahaha…. tapi saya jamin, ulasannya sangat sederhana dan mudah-mudahan bisa dipahami ^,^

Beberapa minggu yang lalu saya memposting satu soal di akun facebook saya. Soal seperti di bawah ini. (sebanarnya yang lebih tepat “ada berapa banyak segitiga pada gambar di samping? bukan jumlah)

16508171_10208178292667477_3044749238227513564_n

Saya hanya menuliskan bahwa “Ini salah satu soal SD yang keluar kemaren”. Ternyata cukup banyak yang tertarik dengan memberikan like (44 likes) hingga memberikan komentar (55 komentar). Komentar-komentarnya seperti ini (saya pilihkan beberapa saja): Lanjutkan membaca “MATEMATIKA dapat Mencegah PERANG”

PERJUANGAN #1 BERANI BERTANYA

images (5)

Hal tersulit dari sebuah perjuangan adalah bertahan dan mempertahankan… Cobaan akan terus menerpa… Tapi ketika itu sudah terlewati dan mampu kita pahami, maka banyak orang yang akan bisa tersenyum bahagia… Bukan hanya kita…

Saya banyak belajar dari cara memulai berjuang dan mempertahankan perjuangan yang sudah dimulai. sebenenarnya sih sederhana saja, ketika ada keinginan maka disitu akan ada perjuangan. Tentu dengan level perjuangan yang berbeda, yang disesuaikan dengan pengalaman setiap individunya dan seberapa kompleks keinginan yang diinginkan.

Tipe orang seperti saya, yang cenderung peragu, penakut dan pemalu, sedikit lebih sulit untuk mengawali perjuangan apalagi mempertahankannya. Tapi untungnya saya selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan yang mengharuskan saya untuk berjuang. Salah satunya, ketika saya ingin aktif di kelas, saya ingin sekali berani bertanya, berani menjawab pertanyaan ketika saya presentasi. Tangan saya seperti memegang batu seberat tugu monas ketika saya ingin mengajukan pertanyaan. Alhasil pertanyaan yang sudah saya persiapkan batal untuk diajukan. Penyesalanlah yang saya dapatkan. Lanjutkan membaca “PERJUANGAN #1 BERANI BERTANYA”

Antara Guru, Orang tua, dan Guru les (Based on true story)

gambar-guru-mengajar2

Ketika anak2 (siswa) ditanya, siapa yang paling dipercaya antara guru (di sekolah), orang tua, dan guru les dalam hal pelajaran?
Jawabanny mudah ditebak.. “guru di sekolah lah” kenapa? Mudah juga ditebak, krn yg memberikan nilai dan decision makingnya adalah guru (memberikan pujian, memberikan nilai, memberikan hukuman baik verbal/fisik ketika salah). Jadi tidak heran kalau siswa sangat berpetokan pada jawaban guru, bahkan cara guru mengerjakan, sampai titik komanya harus sama persis.
Orang tua seringkali dibuat geleng2 dibuatnya, terlebih lagi guru les… krn kdng ada cara guru yg keliru.
.
Pengalaman saya begini sbg guru les…
Sya sdng mengajar materi KPK dan FPB… ada satu soal yg menarik… “tentukan FPB dari 15 dan 32” sprti biasa saya minta siswa yg terlebih dahulu mengerjakan. Dan dengan cepat mereka mengerjakan dan memberi jawaban. “0”
Ekspresi saya sdkit kaget dan tak sabar ingin bertanya, dengan senyum yg tampak sya bertanya “darimana dapetny, kok bisa 0?” Dengan yakin dan semangatnya ia bercerita. “… sya gunakan pohon faktor. Setelah itu sy cari yg sama, ternyata tidak ada. Karena tidak yg sama, kta bu guru, jawabannya 0”
Sya menyimak dan menyahut “ohhh… begitu… kamu yakin dengan jawabanmu?” “Yakin” “klo bpk blng itu keliru gmn?” “Tp kan bu guru blng cara jawabny sprti itu”
.
Saya tarik nafas dalam dalam…
Bukan krn sya menyerah, tp berpikir gmn yaa caranya meyakinkan dy, klo jawabanny itu keliru?
.
Pelan tapi pasti… sya menjelaskan konsep dasar apa itu FPB, apa itu F, apa itu P, dan apa itu B.. beserta contoh2nya… smpai dy memahami bhw jawabanny bukan 0 tp 1. Untuk bs sampai kesimpulan itu, debatnya lama skali. Intiny dia bertanya “kenapa sya harus percaya kalau hasilnya 1 bukan 0?”
Sehebat dan sekuat apapun sya jelaskan, sya tau dia gk percaya sma sya 100%, bayang bayang gurunya masih ada.
.
Karena itu, sya tantang dia untuk berani menyodorkan jawaban yg baru kepada gurunya, berani bertanya, berargumen… dan tentu ini butuh simulasi tingkat dewa sebelumnya.
.
The final…
Yeaaa…. greet moment terjadi.
Argumennya dia diterima, dan guru akhirnya mengakui kekeliruannya.
.
Ada kasus lain yg sya temukan juga, dmn siswa percaya sma jawaban guru yg berpatokan pada buku dibanding dengan jawaban orang tuanya yg berpatokan pada realita (seperti yg sya posting pada web syaadimath17.wordpress.com)
.
Langkah bijaknya menurut sya bukan mengambil langkah potong kompas “gurumu tu yg salah” “cara bapak yg bener, gurumu salah, gak gitu caranya” “kamu harus percaya sma sya guru lesmu, gurumu disekolah salah”. Tapi bagaimana caranya meyakinkan anak/adik/murid les untuk belajar memahami dan berani berargumen.
Terlebih lagi matematika… dasar matematika adalah make sense…. itu yg semestinya dipegang.
.
Kadek Adi Wibawa, M.Pd.
Lanjutkan membaca “Antara Guru, Orang tua, dan Guru les (Based on true story)”

Teori dan Opini: Afektif, Psikomotorik, dan Kognitif

Kemampuan seperti apa yang harus dibentuk dan dimiliki oleh seseorang, menjadi satu pertanyaan penting dalam dunia pendidikan. Seseorang yang masuk dalam dunia pendidikan pada dasarnya ingin memiliki suatu kemampuan yang tumbuh dalam dirinya dan kemampuan yang telah dimilikinya diharapkan mendapat penghargaan oleh semua orang. Apa itu kemampuan? Kemampuan seseorang itu adalah saat dia menunjukkan suatu perkembangan dalam kehidupannya, begitu kira-kira yang disampaikan oleh Munif Chatib dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Anak-anak Juara”

Dalam dunia psikologi perkembangan, ada tiga komponen perkembangan manusia, yaitu psikoafektif, psikomotorik, dan psikokognitif. Tiga komponen perkembangan inilah yang memunculkan tiga ranah kemampuan manusia, yaitu afektif, psikomotorik, dan kognitif (Ar-Ruzz Media dalam Chatib, 2012).

Munif Chatib menyebut tiga ranah kemampuan ini SELUAS SAMUDRA. Bagaimana penjelasannya?

Manusia memiliki kemampuan psiko-afektif, yaitu suatu respon atau perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

ilustrasi-_121004184018-542

http://www.khoiruummah.sch.id/2012/10/kisah-indah-abu-hurairah.html

Secara umum, perasaan itu adalah suasana hati yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak, baik dan buruk. Lebih jauh, afektif juga diartikan perilaku atau akhlak seseorang terhadap lingkungannya. Sederhananya, perilaku yang baik saat orang berinteraksi dengan lingkungannya ataupun dengan dirinya sendiri adalah sebuah kemampuan. Lanjutkan membaca “Teori dan Opini: Afektif, Psikomotorik, dan Kognitif”

Enam Model Interaksi antara Guru, Siswa, dan Matematika sebagai Konten

Cuplikan Isi Artikel yang berjudul “Peran Guru: Memahami Model Interaksi antara Guru, Siswa, dan Konten dalam Pembelajaran Matematikayang di publikasikan di Prosiding Seminar Nasional di Unesa

Mason (2004) menjelaskan terdapat enam model interaksi antara guru, siswa dan matematika (sebagai konten) yang sering disebut tiga serangkai dalam pembelajaran matematika.  Menurut Bennet (dalam Mason, 2004) tiga istilah (guru, pebelajar, konten) dapat menduduki tiga peran (menginisiasi, merespon, dan memediasi) yang diperlukan bagi terjadinya hubungan dan kegiatan. Enam model interaksi  tersebut adalah expounding dan explaining, exploring dan examining, dan exercising dan expressing. Guru memegang peranan penting dalam hal ini, karena guru harus membelajarkan matematika pada siswa dengan tuntutan agar materi atau semangat matematika dapat diterima oleh siswa.

Inisiatif dari Guru

SAM_0129

Interaksi yang inisiatifnya berasal dari guru dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) expounding, dan (2) explaining. Expounding itu sama seperti ceramah dengan menjelaskan secara rinci yang diarahkan kepada semua siswa, baik diminta maupun tidak. Sedangkan explaining hanya dilakukan untuk merespons pertanyaan yang di ajukan oleh siswa. Expounding dan explaining memiliki arti yang sama yaitu menjelaskan, akan tetapi terdapat perbedaan pada posisi guru dalam melakukan interaksi dengan siswa. Lanjutkan membaca “Enam Model Interaksi antara Guru, Siswa, dan Matematika sebagai Konten”

Kognitif = Nilai ? Apa itu benar

Saya selalu mencoba untuk peka jikalau ada status di fb (terutama dari teman-teman saya) terkait dengan pendidikan dan matematika. Salah satunya status yang dibuat sahabat saya, Bli Sutha.

Jpeg
Jpeg

“Pendidikan Indonesia terlalu cognitive minded alias berorientasi kepada aspek kognitif, sementara aspek afektif dan psikomotornya kurang diperhatikan. Dampaknya, banyak orang yang pintar, tapi korupsi, suka melakukan plagiarisme, suka berkata-kata kotor, berperilaku tidak sopan, egois, emosional, tempramental, suka buang sampah sembarangan, suka melanggar lalu lintas, dan berbagai perilaku buruk lainnya.
(Copy dari kompasiana)
Memang itulah yg terjadi di keseharian kita. Hal konyol selalu ditampilkan dlm berprilaku, padahal sdh berpendidikan tinggi. Kira2 ilmu dan agama yg didapat diamalkan atau tidak ya??”

Membaca status ini saya langsung terfokus pada kata “kognitif” dan kalimat “Pendidikan Indonesia terlalu cognitive minded alias berorientasi kepada aspek kognitif”

Saya mengabaikan niatan dari dibuatnya status ini, karena semua orang pasti geram dengan perilaku-perilaku aneh yang terjadi di negeri ini, dan mencoba untuk membuat satu tulisan yang mampu menggambarkan “kegeraman” itu.

Kemudian saya ikut comment: Lanjutkan membaca “Kognitif = Nilai ? Apa itu benar”