SAAT ADA PERUBAHAN, KUALITAS SEPERTI APA YANG HARUS DIMILIKI SEORANG GURU?

Ada yang menarik dari perkuliahan yang berlangsung malam tadi (Senin, 12 Maret 2018). Saya bersama mahasiswa berdiskusi tentang trend perkembangan pembelajaran matematika, terutama di Indonesia. Topik ini menjadi penting untuk didiskusikan agar mahasiswa tahu posisinya saat memutuskan dan menerapkan suatu strategi pembelajaran (apakah berada pada zaman old atau zaman now), mahasiswa juga dapat membuka wawasan mengenai macam-macam strategi pembelajaran mulai dari orde baru hingga sekarang setelah reformasi, mahasiswa juga menjadi tahu dan sadar bahwa kurikulm yang berubah akan membawa dampak pada perubahan strategi mengajar, dan mahasiswa dapat berinovasi untuk mengembangkan pembelajaran-pembelajaran untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Secara khusus saya bercerita mengenai pengalaman saya pada saat mengajar. Pengalaman menarik dari pertanyaan menarik yang diajukan oleh mahasiswa. Sebelumnya, saya memiliki pengalaman pribadi mengenai respon guru ketika kurikulum 2013 disosialisasikan oleh pemerintah. Banyak guru yang complain dan menganggap pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang keliru. Guru semakin diberatkan, guru semakin dibebani banyak hal. Belum lagi harus beralih dari pelajaran per bidang studi ke tematik. Anehnya, walaupun saya tahu bahwa kurikulum 2013 adalah perencanaan yang belum sepenuhnya sempurna, tapi saya mencoba untuk memposisikan diri berpikir positif dan mengambil cara berpikir deduktif, seperti salah satu karakteristik matematika.

Untuk memperkuat cara pandang saya, tidak cukup hanya membaca salinan utama kurikulum 2013 mengenai spirit dan hal-hal yang melatar belakangi hingga terbitlah kurikulum ini. Tetapi saya bertekad untuk datang langsung menemui Bapak Muh. Nuh, menteri pendidikan kala itu. Saya ingin tahu betul “apakah beliau masih waras (sadar) ketika membuat kebijakan ini?” “apakah  beliau memiliki dasar yang kuat?” “apakah beliau ragu-ragu atau benar-benar yakin bahwa kurikulum 2013 adalah solusi bagi masyarakat Indonesia?” Saya ingin menyaksikan langsung, saya ingin tahu langsung dan mendengarkan langsung. Saya memutuskan untuk berangkat ke Surabaya ke Universitas Negeri Surabaya untuk melihat beliau menyampaikan gagasan dalam seminar nasional. Apa yang terjadi? “kurikulum 2013 adalah solusi terbaik untuk bangsa Indonesia saat ini” dengan berapi-api dan penuh keyakinan beliau menyampaikan kalimat itu. Berbagai latar belakang disajikan yang coba memperkuat pentingnnya perbaikan rencana pembelajaran yang comprehensif ini.

Saya cukup lega, menyaksikan bahwa di induk (pemerintah) memang sudah sangat yakin dan sangat rasional bahwa kurikulum memang harus diperbaharui. Alasan utamanya yang tidak bisa disangkal adalah arus teknologi yang kian hari berkembang begitu cepat dan informasi sangat mudah untuk di dapatkan, batas antar negara semakin samar artinya penduduk negara A bisa bekerja di negara B, dan berkantor di negara C, D atau E. Inovasi terbaru begitu cepat, yang indikasinya bahwa dunia sudah berubah dengan sangat cepat. Tapi mengapa masih banyak guru, dosen, dan pemangku pendidikan protes, mengeluh, dan cenderung menyalahkan pemerintah atau kurikulum dibanding mempelajarinya baik secara deduktif maupun induktif. Hal ini masih menjadi pertanyaan besar. Memang masih banyak kekurangan, misalnya Indonesia adalah negara kepulauan, yang memiliki budaya dan kemajuan teknologi yang berbeda. Semestinya semangat KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang membebaskan guru untuk menginterpretasikan, merancang, dan menerapkan kurikulum sesuai dengan daerahnya masing-masing masih difasilitasi dan didampingi serta diberikan perhatian lebih.

Setelah saya bercerita tentang kisah di atas, ada salah satu mahasiswa saya (dari Universitas Mahasaraswati Denpasar) bertanya “lalu pak, kualitas seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk beradaptasi pada kurikulum baru yang sebelumnya tidak ia pelajari?” Saya sangat senang, ternyata ada mahasiswa yang menanyakan hal ini. Pertanyaan ini sudah saya nantikan 5 tahun lamanya. Pertanyaan ini tentu bukan untuk saat ini, saat ia kuliah. Tetapi pertanyaan ini untuk bekal dia nanti ketika sudah kembali ke daerahnya dan menjadi guru. Sudah tentu zaman akan berubah, begitu juga kurikulum. Akan tetapi kualitas seperti apa yang harus ia miliki adalah pondasi yang sangat bagus untuk selalu memeluk hangat perubahan dan selalu berusaha untuk beradaptasi.

Setelah saya menghela nafas bahagia, saya memberikan jawaban “kualitas yang harus dimiliki seorang guru adalah selalu berusaha untuk berpikir terbuka, ibarat gelas, jadilah gelas yang terisi setengah penuh, bukan gelas yang penuh yang menganggap perubahan itu adalah alasan untuk mengeluh. Bawalah setengah pengetahuanmu untuk menganalisa dan mempersepsikan pengetahuan baru atau kurikulum baru yang memang sudah digariskan oleh pemerintah atau pembuat kebijakan. Jangan pula membawa gelas kosong, yang hanya menjadikan dirimu bingung dan tampak ‘bodoh’. Intinya, jadilah orang yang terbuka pemikirannya”

Saya menyampaikannya dengan sangat bersemangat dan ada jiwa dalam ucapan saya, yang harapan saya agar kelak ia mengingat apa yang saya ucapkan.

Tentu bukan itu saja kualitas yang harus dimiliki. Itu hanya sebagai pondasi besar yang membuka wawasan dan cara pandang dia untuk selalu belajar dan tidak kenal lelah untuk terus belajar. Literasi terhadap kurikulum tentu juga menjadi modal utama, disamping tetap memahami konten (misalnya: matematika) dengan baik, dan juga memahami perkembangan peserta didik serta menambah wawasan terhadap strategi pembelajaran yang pas untuk digunakan sebagai cara untuk meningkatkan dan mempersiapkan siswa dalam menghadapi tantangan global yang kian berkembang dan tak menentu.

Penulis adalah seorang dosen pendidikan matematika di FKIP Universitas Mahasaraswati Denpasar yang mengampu mata kuliah Strategi Pembelajaran MatematikaLulusan S1 Universitas Mataram, S2 dan S3 Universitas Negeri Malang

Tiga Gelas Seorang Guru yang Bijaksana “Dharma Wacana seorang Pemuda Hindu”





Beberapa tahun yang lalu pada Purnama Kapat, tepatnya hari Senin, 28 September 2015, saya diminta oleh pihak krama pura Bhuana Kertha di Singosari Malang untuk mengisi acara Dharma Wacana. “supaya ada pandangan baru, sekarang anak muda yang tampil”. Begitulah kira-kira ajakan dari beliau. Saya begitu semangat menerima tantangan ini, sekaligus ada rasa ragu, mengingat dharma wacana akan dilakukan di hadapan banyak orang, ada bapak-bapak, ibu-ibu, teman-teman mahasiswa dan adik-adik yang masih sekolah. Dan saya telah menyiapkan semua, termasuk mental.

“Om swastyastu” begitulah saya awali dharma wacana ini. “Perkenalkan nama saya Kadek Adi Wibawa, saat ini saya sedang kuliah di Universitas Negeri Malang, mengambil program doktoral S3 Pendidikan Matematika. Saya bisa dibilang mahasiswa, guru, atau gurunya calon guru. Sebenarnya, yang memotivasi saya untuk kuliah sampai jenjang S3 di usia muda adalah HP Samsung. Mungkin ada diantara bapak ibu atau teman-teman yang membawanya. HP Samsung saja sudah S5 bahkan sekarang sudah S6. Masak saya kalah? (sambil menunjukkan senyum). Karena itulah, gak cukup hanya S1, S2, saya mau S3. Dan apabila dikalkulasikan dengan SD, SMP, dan SMA, sebenarnya saya sudah sejajar dengan Samsung, saya sudah S6” senyum manis mulai tampak, gigi putih yang awalnya tersembunyi mulai terlihat. Tawa juga, beberapa ada yang terdengar.

“dharma wacana, artinya membicarakan kebenaran. Dalam sarasamuscaya di sebutkan bahwa dharma itu seperti jejak ikan di dalam air (sloka 54), tidak terlihat, sulit untuk mendefinisikan dharma itu seperti apa. Mungkin saat ini, saya merasakan bahwa apa yang akan saya sampaikan adalah dharma, tapi mungkin bagi bapak ibu, teman-teman sekalian bukan, itu bukan dharma. Sehingga menjadi sulit untuk membicarakan dharma, tanpa ada wujud nyata dari dharma itu sendiri. Dan sayapun saat ini, membutuhkan mental yang kuat untuk bisa berdiri disini mencoba untuk menyampaikan dharma.” Semua audiens tampak memperhatikan laki-laki kecil yang hanya bertinggi 155 cm ini.

“Akan tetapi, disebutkan dalam sarasamuscaya bahwa ‘orang yang sama sekali tidak melaksanakan dharma (termasuk membicarakan dharma), maka tak ubahnya seperti padi yang hampa, kenyataannya ada tapi tidak ada gunanya’ (sloka 45). Seperti para koruptor, uang yang diperolehnya itu tidak ada gunanya karena diperoleh tidak didasarkan atas dharma. Begitu juga adik-adik, teman-teman mahasiswa, termasuk saya, apabila nilai yang kita peroleh dikarenakan hasil mencontek maka nilai itu menjadi tidak ada gunanya, dan mencontek adalah cikal bakal dari korupsi di kemudian hari” Semua yang hadir pada saat itu masih menyimak apa maksud dari yang saya utarakan.

“Banyak diantara kita, termasuk para generasi muda lebih memilih untuk diam, memilih untuk mengamalkan ‘ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk’. Saya katakan, padi saja belum cukup, padi akan berguna dan bermanfaat apabila sudah menjadi beras. Dan bagaimana padi itu bisa menjadi beras? Banyak orang bilang, karena masuk ke mesin, atau di tumbuk. Bukan hanya itu, padi bisa menjadi beras, karena bergesek (saling bergesekan) dengan padi yang lain. Yang artinya apa, dharma yang kita pahami, dharma yang kita telah laksanakan semestinya di share, di bagi kepada orang lain, sehingga dharma itu menjadi semakin bermanfaat.” Para pamedek mulai hanyut dalam suasana.

“ada cerita menarik, ada seorang Guru yang terkenal cerdas dan bijaksana. Guru ini masuk ke dalam kelas dengan membawa tiga buah gelas. Satu gelas kosong (tanpa air), satu gelas berisi setengah air, dan satu lagi berisi air penuh. ‘mana diantara tiga gelas ini yang kalian pilih?!’ tanya Sang Guru. Semua siswa tampak berpikir dan merenung. Satu siswa mengajukan diri ‘saya pilih yang isi penuh guru’. ‘kenapa?’ sahut guru. ‘yaa.. karena isinya penuh, kalau haus bisa di minum dan menghilangkan dahaga’ ‘hahahaa..’ tawa pecah mengisi seluruh ruangan. ‘yaa.. bisa saja, kalau kamu memandangnya seperti itu, akan tetapi bagaimana kalau air ini melambangkan sebuah pemikiran?!’. ‘saya pilih yang kosong guru, dengan begitu saya bisa menyerap pemikiran yang lebih banyak dari guru’ siswa yang lain menyahut, karena siswa yang pertama tadi masih memikirkan pertanyaan lanjutan dari Sang guru. ‘baiklah, sekarang saya jelaskan. Gelas yang berisi air penuh, menandakan sifat manusia yang tertutup, tidak mau menerima masukan, pandangan, atau pemikiran dari orang lain. Bagaimana bisa mengisinya, gelasnya sudah penuh. Jika dipaksakan, maka air itu akan tumpah. Selalu di sangkalnya atau di tolaknya’ seperti keberagaman yang ada di tanah Malang ini, ada umat beragama Hindu yang dari Bali, saya kurang nyaman menyebutnya Hindu Bali, karena Hindu hanya satu, Hindu yaa.. Hindu. Ada juga umat Hindu yang berasal dari Jawa. Sudah semestinya kita bisa saling menerima. Mungkin cara sembahyang atau cara membuat perlengkapan upakara umat Hindu yang ada Jawa berbeda dengan di Bali, yaa kita terima sebagai bagian dari penambahan pengetahuan dan pengalaman.” Para audiens masih menyimak dengan antusias.

“’bagaimana kalau yang kosong guru’.’gelas yang kosong menandakan bahwa orang itu mudah di hasut, karena tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat’. Saya sampaikan, beberapa minggu yang lalu saya mengikuti Seminar Nasional di Lampung. Saya bertemu dengan dosen agama Hindu yang taat belajar Weda dan Yoga, dan juga beliau aktif di ashram. Banyak kebaikan yang saya bisa pelajari, banyak sekali. Akan tetapi, ada satu momen yang membuat saya terenyuh, ketika beliau mengatakan bahwa cara umat Hindu di Bali saat ini keliru, salah. Banten terlalu banyak. Ribet. Bahkan untuk odalan saja, dibutuhkan 1 bulan untuk persiapan. Kapan kerjanya?. Terlalu banyak upakara. Semua serba nak mule keto (memang seperti itu). Saya hanya bisa diam pada waktu itu. Menurut saya, karena beliau begitu yakinnya dengan cara belajar saat ini tentang Hindu, sehingga beliau lupa bahwa ‘tanpa nak mule keto’ kita semua gak akan ada disini. Begitu juga, orang Bali yang memandang ashram cenderung keindian-indian, ada sentimenitas. Saya 3 bulan tinggal di salah satu ashram di Bali, setiap jam 5 pagi bangun, membaca weda, melakukan agni hotra, dan sembahyang tri sandya. Banyak kebaikan yang saya dapatkan.’ Para audiens tampak mengangguk-nganggukkan kepala, entah itu menunjukkan tanda setuju.

“perkenankan saya, melafalkan satu sloka bhagawadgita ‘duhkhesu anudvigna-manah sukhesu vigata-sprhah, vita-raga-bhaya-krodhah sthita-dhir munir ucyate’ (Bab II, sloka 56)

(saya melafalkan seperti apa yang saya pelajari ketika di ashram). Skola ini muncul ketika Arjuna bertanya pada Sri bagawan, Krisna. ‘wahai Krisna, bagaimana orang yang disebut bijaksana itu?’ ‘orang yang tidak sedih dikala duka, tidak kegirangan dikala bahagia, bebas dari nafsu, rasa takut, dan amarah, ia disebut orang bijak yang teguh’. Sejatinya semakin kita belajar, semestinya kita semakin dekat dengan kebijaksanaan. Demikian yang dapat saya sampaikan. Saya haturkan terima kasih banyak. Om Santi Santi Santi Om’ Begitulah saya mengakhiri dharma wacana ini.

Apapun yang telah saya sampaikan. Saya hanya seorang pemuda, yang masih banyak harus saya pelajari dan masih banyak hal yang harus saya kerjakan. Seorang pemuda yang membutuhkan motivasi, dorongan dan penguatan agar bisa mengembangkan potensi dalam diri.

Ada beberapa momen menarik terjadi setelah saya menyampaikan dharma wacana ini. Saya mengembalikan ingke, di tempat membeli canang. Bertemu ibu-ibu, dan dia berkata “ohh mas tadi yang menyampaikan dharma wacana yaa.. saya pilih gelas yang berisi setengah air mas” tampak senyum lebarnya, ditambah gelak tawa ibu-ibu dan bapak yang lain. Beberapa teman juga mengirimkan chat ke saya, kalau dia memilih gelas yang berisi setengah air dengan alasan yang begitu luar bisa tidak saya duga. Karena memang tidak saya bahas bagaimana penjelasannya apabila ada salah seorang murid yang memilih gelas yang hanya berisi setengah air.

Kadek Adi Wibawa

Sulitnya Siswa Belajar saat Pembelajaran Daring

Pada saat ini, sedang terjadi pandemic virus corona ( covid-19 ) yang membuat kita harus mengurangi kegiatan di luar ruangan, salah satunya pada bidang pendidikan yang membuat beberapa sekolah kesulitan menjalankan aktivitas secara langsung atau luring. Karena adanya virus ini, kita melakukan proses belajar mengajar dari rumah atau system daring. Menurut saya, pembelajaran via daring tersebut memiliki banyak kendala seperti jaringan, atau kurangnya pengetahuan tentang teknologi, guru juga mungkin agak kesulitan mengajar jika proses pembelajaran dilaksanakan secara daring.

Contoh yang bisa saya ambil yaitu, pada saat saya diminta tolong untuk mengajar atau membantu adik sepupu saya yang masih duduk di bangku kelas 5 SD untuk membantu atau mengawasi saat dia belajar , karena kedua orang tuanya bekerja. Karena saya sambil kuliah, jadi  pagi hari saat waktunya sekolah saya hanya mengingatkan dia untuk mengecek apakah ada diberikan tugas atau tidak oleh gurunya. Dan dia selalu bilang hanya diberikan materi dan disuruh nonton youtube kemudian mencoba soal yang dikumpulkan seminggu lagi, kemudian dia hanya absen dan lanjut bermain. Jadi, menurut saya, cara seperti itu kurang efektif karena membuat siswa malas malasan, santai dan kurang focus belajar karena berfikir  “Juga tugasnya dikumpul minggu depan“.

Jadi, pada saat sore hari saya meluangkan waktu untuk mengajar dan membantu adik saya untuk memahami materi yang diberikan dari gurunya. Saat belajar matematika dan saya bertanya, dibagian mana yang kamu kurang mengerti? dia hanya diam dan tidak menjawab sama sekali. Jadi saya dapat simpulkan dia itu bukan kurang mengerti, tetapi tidak mengerti tentang materi yang diberikan. Lalu, saya menjelaskan ulang materi dari awal dengan pelan dan step by step agar mudah dimengerti. Meskipun responnya agak lama, tetapi dia itu ada usaha dan kemauan untuk belajar dan memahami materi tesebut. Kemudian setelah memahami materi, saya memberikan beberapa contoh dan latihan soal untuk dikerjakan agar dia lebih memahaminya.

Mungkin pada saat jamnya sekolah dia itu kurang focus untuk belajar karena tidak ada yang intens mendampingi saat dia belajar, karena juga saya sambil kuliah jadi tidak bisa mendampinginya. Namun pada saat sore hari, ketika saya sudah ada waktu luang saya baru bisa mengecek apakah dia ada tugas atau materi baru yang dibahas. Kemudian jika ada materi atau tugas, saya langsung membantu dia untuk belajar. Jadi, bisa dibilang, dia itu focus belajar pada saat sore hari ketika ada yang mendampinginya belajar.

Jadi menurut saya, guru mungkin lebih creative dan inovatif lagi dalam mengembangkan proses belajar mengajar secara daring, mungkin dengan cara membuat sendiri video pembelajaran bukan mengambilnya dari youtube, menyajikan materi dalam bentuk power point yang menarik , atau mungkin sesekali mengadakan kelas dengan via zoom atau google meet agar siswa lebih semangat dan focus  untuk belajar. Guru juga dapat menggunakan quis atau games di sela sela penjelasan materi. Karena pendidik mengajar di tingkat SD, jadi mungkin memang agak sulit untuk mengajar siswanya secara daring. Maka dari itu, sebagai pendidik mungkin kita yang harus lebih kreatif lagi mengembangkan cara mengajar agar siswa dapat tertarik dengan materi tersebut.

Ditulis oleh: A.A. Istri Agung Dian Laksminingrat (mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP Universitas Mahasaraswati Denpasar)

MERDEKA BELAJAR ADALAH BARANG USANG DAN PJJ BUKAN MERDEKA BELAJAR YANG SESUNGGUHNYA

116761814_10216907297087132_5562691272130456565_nIstilah Merdeka Belajar menjadi frasa utama yang diakomoditi menjadi kebijakan oleh Mas Mentri saat ini. Merdeka Belajar digadang-gadang menjadi solusi dari semua ruetnya permasalahan pendidikan hingga saat ini. Setidaknya, andalan Mas Mentri adalah menghapus UN, Pendidikan Guru Penggerak (PGP), dan Pembelajaran jarak Jauh (PJJ). Bahkan disatu momen, Mas Mentri menyampaikan bahwa PJJ bakal tetap dilaksanakan walaupun wabah telah berakhir. “Waduhh… gimana pendapat para orang tua yaa?”

MERDEKA BELAJAR adalah ISTILAH YANG USANG. Sejak Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan diri bahwa Indonesia Merdeka, itulah masa-masa dimana para pebelajar di Indonesia belajar tanpa rasa takut. Belajar tentang Pancasila, UUD 1945, Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara, Musik, Sains, dan lainnya. Pebelajar Indonesia seakan menghirup udara segar untuk mengekspresikan diri. “Mau belajar apapun, sesuai dengan bakat dan kemampuan saya, tidak jadi masalah. Tidak ada yang saya takuti dan tidak ada yang menakut-nakuti”. Dari pemahaman itu, lahir banyak musisi hebat, lahir banyak sastrawan handal, lahir insinyur di berbagai bidang, dan banyak lagi tokoh-tokoh nasional dan dunia.

Kemana arah Merdeka Belajar kala itu? Arahnya jelas “berpikir, bertindak dan berkata tanpa rasa takut sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing individu dengan berpedoman pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika” itulah merdeka belajar. Jika sekarang siswa takut belajar karena tidak memiliki laptop atau smartphone, apakah itu merdeka belajar? Oke, anggaplah semua siswa di seluruh Indonesia memiliki laptop dan smartphone, kita menggunakan aplikasi “orang luar” untuk kita menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, apakah itu juga dimaksudkan sebagai merdeka belajar? Mengahpus UN dan menggantinya dengan istilah lain yang didasarkan pada hasil riset “orang luar” (salah satunya PISA), apakah itu merdeka belajar? Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sibuk adalah orang tua, mulai dari mendaftar hingga demonstrasi, apakah itu merdeka belajar? Duhh… semakin ruet. Apa sesungguhnya merdeka belajar?

Seorang anak berusia 14 tahun (kelas 7 SMP) memberanikan diri maju menemui seorang guru di depan kelas dengan perasaan gugup. “Pak, saya tidak begitu ahli matematika terlebih aljabar, tapi saya bisa bernyanyi pak. Kata Ibu saya, suara saya cukup bagus” Seorang guru menampakkan ekspresi yang sangat bahagia karena seorang siswa berani menghadap dan menyampaikan perasaannya dengan jujur. “Tidak masalah nak, semua orang punya kesulitan yang berbeda-beda. Tapi bapak sangat senang karena kamu sudah jujur, maukah menghibur bapak dan teman-teman sekelasmu dengan bernyanyi di depan kelas”. Siswa itupun dengan berani dan bangga menyanyikan sebuah lagu untuk guru dan teman-temannya. Itulah merdeka belajar.

Setiap siswa dilahirkan berbeda dengan kemampuan dan bakat masing-masing. Ketika seorang guru bisa mengakomodir perbedaan bakat itu, maka disanalah istilah Merdeka Belajar menjadi relevan. Harusnya ini yang menjadi dasar dan modal Mas Mentri untuk mengejawantahkan arti sesungguhnya dari Merdeka Belajar. Mulai dari mana? Mulai dari Penerimaan siswa baru. Bukan hanya didasarkan pada zona dan prestasi yang hanya ditunjukkan dengan sekumpulan sertifikat, tetapi bakat dan kemampuan secara faktual yang ditunjukkan oleh siswa saat itu juga. Dan itulah yang dijadikan dasar oleh pihak sekolah untuk mengembangkan bakat anak selama berada di sekolah.

Dr. Kadek Adi Wibawa, S.Pd., M.Pd (Dosen dan Praktisi Pendidikan)

ANCAMAN LEGISLASI

70326858_10214556977490611_6558955986353127424_n

“Tujuh ancaman yang dihadapi Bangsa Indonesia, yaitu Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keselamatan umum, teknologi dan legislasi” (Kementerian Pertahanan RI)

.
Menurut Kolonel Inf. Ketut Budiastawa, S.Sos., M.Si @kemhanbali ancaman legislasi lah paling bahaya. Kenapa? Karena produk hukum yang mengatur tatanan masyarakat dirancang dan diproduksi disana. Bahayanya ketika produk hukum justru berdampak buruk pada objek yang diaturnya. Aspek jual beli kepentingan sangat berpengaruh jika mentalitas perancang Undang-undang lemah. Untuk itu diperlukan semangat Bela Negara dalam mempersiapkan ini semua.
.
Generasi muda juga perlu menyadari “penyampaian aspirasi yang beretika yang diutamakan. Budayakan, membaca naskah akademik dengan seksama sehingga mengetahui esensi isu yang disampaikan”
.
Banyak wujud ancaman di depan mata, isu radikalisme yang kian menjadi, intoleransi yang sedang digaungkan lagi.
.
Semua itu bagian dari tantangan bagi Bangsa yang berkembang menuju bangsa yang maju.
.
Saatnya seluruh elemen bangsa bersatu padu unt
uk saling mengingatkan satu sama lain, bahwa kita masih dan selalu punya harapan. Harapan untuk mewujudkan cita2 Bangsa Indonesia yang terkandung dalam UUD 1945.

.
Foto: saat mengisi PPLK di @stdbali tahun 2019, membawakan materi Bela Negara: Cegah Radikalisme dan Intoleransi.
#selaluadaharapan #NKRI

SEMINAR NASIONAL: RELASI DAN TREND PENELITIAN

67591991_10214179802861481_411776222817681408_n

Seminar (internasional) bukan hanya tentang datang untuk mempresentasikan paper hasil penelitian, yang kemudian mendapat sertifikat untuk kenaikan pangkat. Bukan hanya datang untuk mendengarkan Keynote Speaker berbicara.

Seminar untuk bertemunya individu-individu yang “merasa dirinya perlu banyak belajar” utamanya tentang perkembangan penelitian saat ini. Membuka cara pikir dan wawasan, bahwa banyak hal telah berubah, dan ada banyak hal yang baru. (Jurnal kami sudah terindeks Sinta 2, jurnal kami sudah terindeks Scopus, cara dapat beasiswa PhD, dll)

Seminar tentang membangun relasi, bertukar informasi tentang pemahaman selama ini, sistem pembelajaran, dan banyak hal, hingga mengajak untuk datang ke acara “kami”, jika suatu saat mengadakan kegiatan yang sama.

Semakin banyak belajar, semakin banyak yang tidak diketahui. Sebelumnya ada penelitian R & D, action research, experiment, descriptive qualitative, etnomathematics dan skrng design research. Setidaknya itu baru bagi saya, dan tujuannya sangat bagus, yaitu mengembangkan material pembelajaran dengan perspektif yang berbeda.

HOTS, RME, HLT, LIT, DESIGN RESEARCH kata kunci yang paling banyak dibicarakan di seminar kali ini. SEA-DR IC 2019 di Universitas Sanata Dharma Yogjakarta.
#maribelajarbersama #openminded @ Universitas Sanata Dharma

 

BIMBINGAN TEKNIS KURIKULUM 2013 YAYASAN WIDYATMIKA

65103146_10213963992986369_5292390222619738112_n

PTK ITU MUDAH, materi yang saya bawakan pada kegiatan tersebut. Peserta dari guru-guru TK, SD, SMP, SMA dan SMK dari lintas Prodi. Pertemuan yang sangat berkesan, bisa berbagi sekaligus belajar.
Turut hadir Ketua Yayasan, Ketua Komite dan Kepala Sekolah. Kegiatan berlangsung pada hari Jum’at, 21 Juni 2019.

FoMuBer, adalah formula untuk mewujudkan PTK dengan mudah.
FOkus pada masalah
MUlai bekerja setelah solusi ditemukan
BERkolaborasilah dengan sejawat dan/atau ahli.
.
Terima kasih atas kesempatannya.

Link Materi PTK di Widyatmika

Kebenaran Tidak Tunggal

67833001_10214271797921300_375771069593681920_n

Terus berproses, lakukan yang terbaik. Hidup seringkali tidak mudah untuk ditebak.


1 + 1 = 2, orang IT bilang, “bukan 2, tapi 10”. Setelah dipahami dengan seksama, dua jawaban tersebut sama benarnya, hanya saja perspektifnya saja yang berbeda. Prespektif yang berbeda seringkali tercipta karena pengalaman masing-masing individu yang berbeda. Dan ada kalanya kita berkesimpulan bahwa “kebenaran itu tidak tunggal”. Sehingga kedewasaan akal akan terjaga.
#hiduprukunlebihbahagia
— di Kota Denpasar.

Deni Hamdani, M.Pd

Dalam IT 10 itu tidak dibaca SEPULUH, karena 10 itu adalah biner (bilangan yang elemen nya hanya {0,1}). Jika dikaitkan dengan konsep DISJUNGSI maka 1+1=1 (Benar atau Benar =Benar)

Dr. Nengah Parta

Kebenaran itu memiliki tiga wajah: Kebenaran Pragmatis, Kebenaran Korelasional, dan Kebenaran yang sifatnya Koheren. Apa itu, silakkan datang ke Prodi S3 Pendidikan Matematika UM. Kita diskusi bersama. Bagi yang blum S3 kutunggu.

Bapak Ketut Entel, M.PdH

…mari kita maknai mana kebenaran Inividu dan mana kebenaran Universal

Komang Oka Mahendra, MH

5 DASAR KEBENARAN:
1. PENGETAHUAN
2. CINTA
3. KEADILAN
4. PENGABDIAN
5. KESABARAN

(Perspektif nilai/futuristik/tak lekang oleh waktu)

Oleh SHRI KRSHNA (BHAGAWADGITA)

MODERATOR 4.0

69063089_10214347524854426_1569391993535070208_n
“Prof, benar ini fotonya Prof yaa?” Saya menunjukkan foto beliau setelah sya searching berbagai informasi tentang beliau. Sebagai moderator saya tidak diberikan CV beliau, tapi saya punya smartphone yang sekiranya bisa dimanfaatkan.
.
Saya cari semua informasi tentang beliau, yang ternyata lulusan S2 dan S3 dari Jepang dan punya prestasi sebagai peneliti terbaik di Universitas tempat beliau bekerja. Nama beliau Prof. Dr. Heri Hermansyah, ST. M.Eng, yang punya motto, “hidup ibarat berenang, kita harus terus berenang sampai lintasan akhir, jika berhenti ditengah, resikonya adalah tenggelam” itu juga saya tahu setelah membaca ulasan tentang beliau melalui smartphone.
.
Foto saat kegiatan Workshop Revitalisasi Reviewer di Hotel Bedrock, Bali.
Terima kasih @lppmunmas atas kesempatannya.

Presentasi yang Baik

46482720_10212650297344799_3593160414243848192_n.jpgSaya sering menuntut mahasiswa untuk bisa tampil baik saat presentasi. Saya perhatikan detail, mulai dari isi ppt, komposisi ppt, animasi, penempatan gambar, cara penyampaian (jgn coba coba baca!), Gestur, tatapan ke audiens, strukturisasi kalimat, cara menjawab dan menanggapi pertanyaaan, hampir semua hal saya perhatikan dan komentari.
.
Kenapa???
.
Karena saya menuntut diri saya juga sama dan saya tahu kebutuhan masa depan apa untuk mereka (mahasiswa).
.
Untuk tampil 15 menit, saya harus menghabiskan waktu kurang lebih 1 Minggu. Hampir di setiap tempat dan kesempatan (termasuk kamar mandi) saya manfaatkan untuk berlatih presentasi. Apakah hasilnya pasti bagus? Belum tentu juga. Tapi dibandingkan persiapannya hanya sejam saja (baca ditempat) bisa dipastikan persiapan 1 minggu jauh lebih baik.
.
Foto ini di ambil oleh @adeanpy saat saya menjadi paper presenter di seminar Internasional ISMEI ke 5 di Yogyakarta Indonesia.