Ada yang menarik dari perkuliahan yang berlangsung malam tadi (Senin, 12 Maret 2018). Saya bersama mahasiswa berdiskusi tentang trend perkembangan pembelajaran matematika, terutama di Indonesia. Topik ini menjadi penting untuk didiskusikan agar mahasiswa tahu posisinya saat memutuskan dan menerapkan suatu strategi pembelajaran (apakah berada pada zaman old atau zaman now), mahasiswa juga dapat membuka wawasan mengenai macam-macam strategi pembelajaran mulai dari orde baru hingga sekarang setelah reformasi, mahasiswa juga menjadi tahu dan sadar bahwa kurikulm yang berubah akan membawa dampak pada perubahan strategi mengajar, dan mahasiswa dapat berinovasi untuk mengembangkan pembelajaran-pembelajaran untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Secara khusus saya bercerita mengenai pengalaman saya pada saat mengajar. Pengalaman menarik dari pertanyaan menarik yang diajukan oleh mahasiswa. Sebelumnya, saya memiliki pengalaman pribadi mengenai respon guru ketika kurikulum 2013 disosialisasikan oleh pemerintah. Banyak guru yang complain dan menganggap pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang keliru. Guru semakin diberatkan, guru semakin dibebani banyak hal. Belum lagi harus beralih dari pelajaran per bidang studi ke tematik. Anehnya, walaupun saya tahu bahwa kurikulum 2013 adalah perencanaan yang belum sepenuhnya sempurna, tapi saya mencoba untuk memposisikan diri berpikir positif dan mengambil cara berpikir deduktif, seperti salah satu karakteristik matematika.
Untuk memperkuat cara pandang saya, tidak cukup hanya membaca salinan utama kurikulum 2013 mengenai spirit dan hal-hal yang melatar belakangi hingga terbitlah kurikulum ini. Tetapi saya bertekad untuk datang langsung menemui Bapak Muh. Nuh, menteri pendidikan kala itu. Saya ingin tahu betul “apakah beliau masih waras (sadar) ketika membuat kebijakan ini?” “apakah beliau memiliki dasar yang kuat?” “apakah beliau ragu-ragu atau benar-benar yakin bahwa kurikulum 2013 adalah solusi bagi masyarakat Indonesia?” Saya ingin menyaksikan langsung, saya ingin tahu langsung dan mendengarkan langsung. Saya memutuskan untuk berangkat ke Surabaya ke Universitas Negeri Surabaya untuk melihat beliau menyampaikan gagasan dalam seminar nasional. Apa yang terjadi? “kurikulum 2013 adalah solusi terbaik untuk bangsa Indonesia saat ini” dengan berapi-api dan penuh keyakinan beliau menyampaikan kalimat itu. Berbagai latar belakang disajikan yang coba memperkuat pentingnnya perbaikan rencana pembelajaran yang comprehensif ini.
Saya cukup lega, menyaksikan bahwa di induk (pemerintah) memang sudah sangat yakin dan sangat rasional bahwa kurikulum memang harus diperbaharui. Alasan utamanya yang tidak bisa disangkal adalah arus teknologi yang kian hari berkembang begitu cepat dan informasi sangat mudah untuk di dapatkan, batas antar negara semakin samar artinya penduduk negara A bisa bekerja di negara B, dan berkantor di negara C, D atau E. Inovasi terbaru begitu cepat, yang indikasinya bahwa dunia sudah berubah dengan sangat cepat. Tapi mengapa masih banyak guru, dosen, dan pemangku pendidikan protes, mengeluh, dan cenderung menyalahkan pemerintah atau kurikulum dibanding mempelajarinya baik secara deduktif maupun induktif. Hal ini masih menjadi pertanyaan besar. Memang masih banyak kekurangan, misalnya Indonesia adalah negara kepulauan, yang memiliki budaya dan kemajuan teknologi yang berbeda. Semestinya semangat KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang membebaskan guru untuk menginterpretasikan, merancang, dan menerapkan kurikulum sesuai dengan daerahnya masing-masing masih difasilitasi dan didampingi serta diberikan perhatian lebih.
Setelah saya bercerita tentang kisah di atas, ada salah satu mahasiswa saya (dari Universitas Mahasaraswati Denpasar) bertanya “lalu pak, kualitas seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang guru untuk beradaptasi pada kurikulum baru yang sebelumnya tidak ia pelajari?” Saya sangat senang, ternyata ada mahasiswa yang menanyakan hal ini. Pertanyaan ini sudah saya nantikan 5 tahun lamanya. Pertanyaan ini tentu bukan untuk saat ini, saat ia kuliah. Tetapi pertanyaan ini untuk bekal dia nanti ketika sudah kembali ke daerahnya dan menjadi guru. Sudah tentu zaman akan berubah, begitu juga kurikulum. Akan tetapi kualitas seperti apa yang harus ia miliki adalah pondasi yang sangat bagus untuk selalu memeluk hangat perubahan dan selalu berusaha untuk beradaptasi.
Setelah saya menghela nafas bahagia, saya memberikan jawaban “kualitas yang harus dimiliki seorang guru adalah selalu berusaha untuk berpikir terbuka, ibarat gelas, jadilah gelas yang terisi setengah penuh, bukan gelas yang penuh yang menganggap perubahan itu adalah alasan untuk mengeluh. Bawalah setengah pengetahuanmu untuk menganalisa dan mempersepsikan pengetahuan baru atau kurikulum baru yang memang sudah digariskan oleh pemerintah atau pembuat kebijakan. Jangan pula membawa gelas kosong, yang hanya menjadikan dirimu bingung dan tampak ‘bodoh’. Intinya, jadilah orang yang terbuka pemikirannya”
Saya menyampaikannya dengan sangat bersemangat dan ada jiwa dalam ucapan saya, yang harapan saya agar kelak ia mengingat apa yang saya ucapkan.
Tentu bukan itu saja kualitas yang harus dimiliki. Itu hanya sebagai pondasi besar yang membuka wawasan dan cara pandang dia untuk selalu belajar dan tidak kenal lelah untuk terus belajar. Literasi terhadap kurikulum tentu juga menjadi modal utama, disamping tetap memahami konten (misalnya: matematika) dengan baik, dan juga memahami perkembangan peserta didik serta menambah wawasan terhadap strategi pembelajaran yang pas untuk digunakan sebagai cara untuk meningkatkan dan mempersiapkan siswa dalam menghadapi tantangan global yang kian berkembang dan tak menentu.
Penulis adalah seorang dosen pendidikan matematika di FKIP Universitas Mahasaraswati Denpasar yang mengampu mata kuliah Strategi Pembelajaran MatematikaLulusan S1 Universitas Mataram, S2 dan S3 Universitas Negeri Malang